Senin, 07 April 2014

Rafting dan Singapura

sekitar pukul sembilan pagi itu Sabtu 29 Maret 2014, kumulai perjalananku bersama peserta Rafting ke Magelang dari kampus Satya Wacana. Duduk bagian favoritku ya di belakang dekat dengan jendela. Duduk di sebelahku Mara sebagai perwakilan organisasi fakultas yang bertugas mengawasi pelaksanaan acara tersebut. Selama perjalanan ke Magelang kami mengobrol tentang banyak hal, dari hal akademis sampai grup socmed rahasia yang berisi guyonan kritis dan sarkastik tentang kehidupan kampus. Sambil menikmati hamparan kebun kopi dan liuknya jalan, nasi ayam yang sudah dibagi panitia pun kulahap tanpa sisa.

Sampai di kawasan wisata Citra Elo Magelang, kami disambut dengan sesi welcome tea, ya aku tak menikmatinya. Selain aku tidak begitu suka dengan teh, teh yang disediakan pun panas, tak sesuai dengan cuaca yang terik saat itu. Aku lebih suka menikmati air bening (bukan putih) dan kutenggak sebotol air itu sambil mendengarkan panitia memberikan arahan untuk kegiatan tanam pohon. Panitia mulai membagi peserta dalam tiga kelompok dan membagi perlengkapan untuk masing-masing peserta. Aku dikelompokkan dengan dua peserta warga negara dari Singapura yaitu Pak Bernard dan Perry. Ya kami mulai akrab saat kami bekerja sama menanam beberapa pohon di kebun belakang kawasan wisata Citra Elo. Tak lupa kami mengabadikan momen itu dengan kamera milik Perry.

Usai sesi tanam pohon tersebut, peserta dipersilakan beristirahat sejenak di gazebo sambil menyiapkan perlengkapan untuk rafting. Aku ganti pakaian dengan celana pendek casual dan kaos hitam Electrohell tanpa alas kaki. Sebelum berangkat ke titik start rafting, para peserta menyempatkan untuk berfoto bersama. Dengan angkutan kota yang ditumpangi perahu karet di atasnya, kami dibawa ke titik start sekitar 20 menit perjalanan dari kawasan wisata Citra Elo. Cuaca terik siang itu tiba-tiba menjadi gelap dan hujan deras setiba kami di titik start. Khawatir? tidak! justru kami merasa lebih antusias menakhlukkan jeram sungai Progo atas ketika hujan. Dan instruktur pun mengizinkan rafting dilakukan meski di bawah guyuran hujan. Peserta dibagi menjadi enam perahu dan masing-masing perahu didampingi instruktur yang berpengalaman belasan tahun. Mendengarkan arahan instruktur dengan seksama adalah cara kecil untuk menjaga keselamatan saat rafting.

Perjalanan kami menyusuri sungai Progo atas dimulai bersamaan dengan menurunnya intensitas hujan. Aku ambil posisi terdepan bagaikan sopir, namun sebenarnya kendali perahu ada di belakang, ya ditempati dua instruktur pak Ro'is dan pak Slamet. baru kuatunkan dayungku sekian puluh kali, sudah terasa pegal di bagian pergelangan tangan. Memang seharusnya melakukan pemanasan terlebih dahulu. Beberapa jeram yang kecil sampai yang cukup curam kami arungi dengan penuh teriakan dan tawa riang. Rasanya terombang ambing di atas arus air lebih asyik memacu adrenalin daripada naik wahana Halilintar atau Histeria di Ancol. Ada beberapa peserta di perahu lain yang tercebur ke dalam arus air sungai.pada etape pertama ini. Setidaknya perahu kami sudah menaikkan 3 orang peserta yang tercebur.baru sekitar setengah jam kami menyusuri sungai tersebut, kami break sebentar di bawah jembatan untuk menyegarkan tenggorokan dengan air mineral dan kudapan yang sudah disiapkan panitia. Tak lupa kami action untuk foto bersama di bawah jembatan tersebut.

Setelah sekitar 10 menit, kami melanjutkan perjalanan untuk etape kedua. Kami ditantang oleh instruktur untuk duduk di depan ujung perahu, sebenarnya ada dua perempuan di perahu kami, namun mereka tidak ada yang berani. Akhirnya kak Rangga mahasiswa Magister Manajemen yang memberanikan diri untuk ber-rodeo di perahu.baru beberapa menit kak Rangga sudah jatuh tercebur di jeram yang tidak curam. Aku dan pak Rois membantu kak Rangga naik ke perahu. Lalu kak Rangga mempersilakan aku untuk mencoba ber-rodeo, kuterima tantangan itu sekalian untuk mengistirahatkan pergelangan tanganku yang sudah sedari tadi terasa pegal. Kutitipkan dayungku kepada pak Slamet dan pak Rois, dan kuambil posisi duduk di ujung depan perahu. Ternyata asyik juga di posisi ini, serasa naik kuda namun tanpa kepala. beberapa jeram kuarungi dan aku tercebur di jeram yang menikung. Untungnya aku mendengarkan petunjuk dari mas Gufron tentang bagaimana cara menghanyutkan diri dengan baik. Aku dibantu naik ke perahu oleh kak Rangga, namun aku memutuskan untuk tetap ber-rodeo lagi. ya aku memang orang yang keras kepala, selama menurutku benar dan tidak mengganggu hak orang lain ya i do it. Keceriaan kami berlanjut sampai penghujung poin akhir, dengan kekuatan penuh perahu kami melaju menuju air terjun kecil namun deras di pinggir sungai, ya padahal aku masih asyik ber-rodeo, mau tidak mau saya harus minum air dari kucuran air terjun yang deras itu, kami tertawa terbahak-bahak. Dan di akhir sebelum kami merapat ke daratan, kami berlima melakukan permainan kecil, kami berdiri di pinggir perahu dan saling berpegangan tangan. Dalam hitungan ketiga pak Slamet dan pak Rois menghentakkan perahu ke belakang sehingga kami semua tercebur ke dalam arus sungai yang sudah mulai tenang. Kami berenang ke tepian sungai Progo sekaligus mengakhiri perjalanan arung jeram kami senja itu.

Semua peserta naik ke area penjemputan, di area tersebut sudah disediakan kudapan dan air minum untuk para peserta. Seperti biasa kuambil air mineral bukan teh hangat dan sepotong bakpia isi kacang hijau dan arem-arem mini. Lumayanlah untuk menggantikan energi yang terkuras di sungai Progo tadi. Aku berbincang-bincang dengan peserta lain sambil menahan dingin karena kebasahan. Aku bertanya pada duo Singapura juga "Bagaimana?oke?" tanyaku sambil mengacungkan ibu jariku. "Saya sangat senang, di Singapura tidak ada yang seperti ini." jawab Perry. "Saya sudah pernah rafting di Gua Pindul tapi tidak sebaik di sini." jawab pak Bernard dengan terbata-bata. Mungkin benar apa yang dibicarakan mas Gufron di awal sebelum kami memulai rafting, "Setelah Anda melakukan rafting ini kemungkinannya cuma dua, kalau nggak kapok ya ketagihan." Aku merasa ketagihan dan mungkin itu juga dirasakan oleh peserta lain. Kami kembali ke kawasan Citra Elo dengan menggunakan angkutan kota seperti pada pemberangkatan tadi. Duduk di ujung pintu dengan tiupan angin memakasaku menahan dingin yang luar biasa.Setelah sekitar setengah jam, kami tiba di Citra Elo kembali.

Aku, Perry dan pak Bernard bergaya kembali pintu kedatangan Citra Elo untuk difoto oleh panitia. Untuk menetralisir suhu badan yang kacau setelah tertiup angin tadi, kuputuskan untuk berenang sebentar di kolam renang yang telah disediakan Citra Elo. Setelah cukup dingin badanku, aku bergegas mandi dan berganti pakaian. Sudah bersih dan wangi badanku, aku memilih untuk bercengkerama dengan pak Bernard dan Perry di gazebo.

Aku mulai mengenal lebih dekat tentang mereka berdua dan Singapura. Perry adalah lulusan Teknik Informatika tapi tidak suka menjadi programmmer, dia sedang mencari pekerjaan. Dia ikut program belajar Bahasa Indonesia dengan tujuan dapat bekerja di Indonesia. Sedangkan pak Bernard adalah bapak dua anak yang bekerja sebagai jurnalis sekaligus petualang, beliau sudah singgah ke beberapa negara untuk mengeksplor alam dan budayanya seperti India, United State, Malaysia, dan Indonesia. Dari sekilas saja, mereka tidak seperti orang asing yang aku kira, mereka lebih ramah dan humble. Aku menanyakan kepada mereka tentang Bahasa Indonesia, susahkah bagi mereka? Perry menjawab dengan terbata-bata "Bahasa Indonesia itu sulit tidak seperti bahasa Mandarin". "Saya waktu di kelas mencoba menjawab pertanyaan teacher tentang Bahasa Indonesia dari farming, saya menjawab metani" tambah pak Bernard sambil tertawa disusul tawaku dan Perry. Pak Bernard terbiasa dengan kata kerja me- sehingga yang seharusnya ber-tani menjadi me-tani. lalu saya bertanya tentang Bahasa Inggris, apakah itu diajarkan juga di perkuliahan Singapura. Ternyata tidak, Universitas di Singapura justru mengajarkan Bahasa Indonesia dan Bahasa Mandarin. Bahasa Inggris hanya diajarkan saat Elementary School. Betapa malu sekaligus bangganya aku, malu karena Bahasa Inggris yang diagung-agungkan sebagai bahasa Internasional di Indonesia cuma sebagai bahasa pengantar di Singapura, bangga karena Bahasa Indonesia disejajarkan dengan Bahasa Melayu sebagai bahasa nasional di Singapura. Mereka berdua memang keturunan Chinesse tapi mereka tidak suka disebut orang China. "ya saya memang keturunan China, tapi saya bukan orang China' begitu kata Perry. Lalu aku bertanya tentang alam Singapura. Perry menjelaskan bahwa tempat wisata Singapura semua buatan dan tidak alami, bahkan pak Bernard sendiri sampai ingin membawa keluarganya untuk menikmati kekayaan alam di Indonesia. Di Singapura pun harus pergi ke Malaysia untuk membeli bahan bakar minyak. Sebegitu susahnya mereka dengan kecilnya alam. Sedangkan Indonesia sendiri kekayaan alam hanya dikuasai oleh segelintir orang bukan untuk kepentingan rakyat banyak, sehingga tidak heran jika rakyat yang tidak punya rasa "nduweni" akan alam Indonesia dan tidak menjaga seperti seharusnya milik mereka sendiri. Satu hal yang pak Bernard katakan namun sangat aku ingat karena sangat mempermalukan, "Indonesia ini sangat bagus, tapi orang Indonesia tidak suka bersih, sampah dimana-mana" Kalimat itu keluar dari mulut orang yang merasakan sendiri betapa kotornya indonesia ini. Mungkin ini sepele, tapi memang seharusnya kita harus menjaga kebersihan indonesia.

Perbincangan kami berlanjut di meja makan, sambil menikmati hidangan sayur lodeh, tempe bacem, dan ayam goreng dan kerupuk. Pak Bernard dengan lahap menghabiskan sayur lodehnya. sedangkan Perry justru hanya makan tempe bacem dan kerupuk. Aku bertanya padanya kenapa tidak makan nasi. "Kaki saya sedang sakit jadi saya tidak bisa berolahraga jadi saya harus diet, tidak boleh makan banyak". Sebegitu perhatiannya dia dengan kesehatannya sendiri. Sedangkan aku sendiri sering mengabaikan kesehatanku sendiri. Perry sangat suka kerupuk, dia menghabiskan setengah mangkuk kerupuk. Setelah selesai makan, Perry mengeluh kepada pak Bernard karena digigit nyamuk, lalu aku bertanya "di Singapura tidak ada nyamuk?" pak Bernard menjawab ada karena Singapura juga tropikal dan menakutkan karena di Singapura nyamuk itu bisa menyebabkan kematian. lalu aku berpikir, mungkin nyamuk di Singapura memang lebih ganas daripada di indonesia. perbincangan kami diakhiri dengan topik terakhir yang menggelitik juga. pak Bernard bertanya "Bayu, punya agama apa?" kujawab dengan tegas "Islam! I'm moslem" Perry bertanya "Bayu sudah pernah ke Mekkah?" "Belum, tapi saya sedang menabung untuk pergi ke sana' jawabku dengan senyum. "memang berapa fee untuk ke Mekkah? lalu kujawab "cukup mahal sekitar 30juta dan itu mungkin akan naik tiap tahun. Walau sudah bayar lunas pun kita harus antri, mungkin lunas tahun ini tapi mungkin berangkat haji beberapa tahun kemudian. jadi harus antri sesuai kuota." Perry dan pak Bernard mengangguk-angguk mungkin heran dengan sistem haji di Indonesia. Perbincangan kami senja itu berakhir karena kami sudah dipersilakan untuk naik ke bus untuk melakukan perjalanan pulang ke Salatiga.

kami mampir di toko oleh-oleh di kota Magelang, aku tak tertarik untuk berbelanja, bukan karena tidak punya uang tapi lebih karena "for what". Aku hampir seminggu sekali ke Jogjakarta melalui magelang, jadi rasanya percuma kalau belanja oleh-oleh di Magelang. Ada yang menarik saat di toko oleh-oleh, aku melihat Perry dan pak Bernard sedang makan es krim Magnum yang harganya sekitar 11 ribu. Aku bertanya "suka es krim?" lalu pak Bernard menjawab "Ya, di sini es krim murah tidak seperti di Singapura." "Di Singapura juga ada es krim Magnum?" "Ya, di Singapura ada es krim Magnum ini tapi harganya sekitar 5 dollar Singapura atau 40 ribu Rupiah." Aku terdiam dan berpikir, sebegitu mahalnya di Singapura atau sebegitu murahnya di Indonesia. entahlah setiap orang punya sudut pandang masing-masing. Mungkin bagi mereka, Indonesia sangat murah dan bagiku Singapura sangat mahal.

Perjalanan pulang kami berlanjut. Sampai di Salatiga, kami disambut hujan deras. Mungkin Tuhan masih senang melihat hambaNya bermain dengan airNya. Tuhan Maha Asyik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar