Senin, 28 April 2014

Bromo Trip

Jumat pagi tanggal 25 April 2014 ketika matahari sedang memancar dengan riangNya, kuhabiskan sarapanku pagi itu sambil menunggu Unang menghisap habis rokoknya yang terbakar. Kami sudah di dalam bus Royal Safari menjelang ibadah jumat menuju Solo. Sampai di terminal Tirtonadi yang sedang dalam renovasi, kami telusuri jalan untuk mencari sumber suara khotib, kami sujudkan raga kepadaNya sejenak untuk ibadah jumat.
Bus Sugeng Rahayu jurusan Surabaya adalah kendaraan kami berikutnya. Bus yang agak ugal-ugalan ini melaju cepat menyusuri jalanan. Entah bagaimana dulu para sopir dan awak bus dari Selamat Grup ini ditraining, mungkin test drive dengan time trial. Enam setengah jam adalah waktu tempuh kami dari Solo menuju Surabaya dengan ongkos 38 ribu ditemani alunan musik dangdut maupun pengamen jalanan. Tiba di terminal Bungurasih, kami lekas mencari bus menuju Malang. Bus Restu berwarna hijau dengan gambar beberapa panda lucu di sampingnya membawa kami sampai di Terminal Arjosari pada pukul 20.45.
kutelepon owner Nusantara Trip yang telah menjanjikan kami untuk berisitirahat sejenak di kediamannya, namun karena angkutan kota yang sudah tidak beroperasi maka kami kami memutuskan untuk beristirahat di sekitar terminal.
Bakso Malang adalah sasaran kuliner kami, yang terasa baru dari bakso biasa adalah kuah bakso yang agak kental dan bakso goreng tepung serta tambahan lontong, lumayan enak dan cukup mengenyangkan dengan 8 ribu rupiah.


bakso Malang
Warung kopi lesehan di depan Indomaret Arjosari menjadi tempat rehat sejenak kami sambil menanti jemputan dari Nusantara Trip. segelas dua gelas kopi kami habis dan Unang yang menikmati beberapa batang rokoknya. Tak lupa kami membeli roti dan air mineral di Indomaret guna bekal nanti.Tengah malam itu, mobil Luxio dari Nusantara Trip membawa kami menuju ke Probolinggo lebih tepatnya di desa Wonokitri. Kami menggunakan jasa open trip dari Nusantara Trip dengan fee 290 ribu per orang, harga yang pantas bagi kami mahasaiswa ekonomi karena tidak perlu memikirkan sewa mobil maupun tiket Bromo. Bersama lima orang peserta open trip lainnya, kami tiba di Wonokitri diantar mas Majid.
Dingin menusuk kulit kami, aku dan Unang hanya memakai kaos oblong dan belum memakai jaket, sementara semua orang di sekitar kami menggunakan jaket tebal dan topi kupluk. Unang menghisap rokoknya dan aku berbincang dengan peserta open trip lainnya. Mbak Nita, pegawai Quality Assestment dari Bank milik Belanda dan mas Hakim pegawai swasta yang sedang honeymoon dengan istri barunya.
mobil Jeep  bewarna abu-abu di bawah kendali mas Ucok membawa kami ke bukit penanjakan untuk menikmati keindahan sunrise sang surya karya Allah. Ratusan pengunjung menyesaki bukit penanjakan subuh itu. Namun kami sudah mendapat tempat terdepan untuk mengabadikan view meskipun suhu dingin yang mengganggu kami terus menusuk ke syaraf tubuh kami..
sunrise matahari mengawali hari

view gunung Bromo dari bukit penanjakan

foto selfie dengan background gunung Bromo

bersama Unang


perjalanan jeep kami dilanjutkan ke padang rumput atau sabana dengan menelusuri turunan tajam dan sempitnya bahu jalan. Sesekali kami tersedak menghirup aroma belerang yang menyengat, namun hijaunya bukit yang indah tersaji di sini.

sabana Bromo
puas menikmati hijaunya sabana dan sebungkus kacang kulit, perjalanan kami berlanjut ke daerah Pasir Berbisik. Tidak seperti namanya yang seharusnya pasir bisa berbunyi, ternyata ekspektasi saya salah, ini hanya lautan pasir yang sangat luas.

Lautan pasir Bromo
kami menuju akhir perjalanan ini yaitu kawah Bromo. untuk hal yang pamungkas ini, kami harus melakukan hal yang agak ekstrem. Sebenarnya ada fasilitas kuda dengan fee 50-100 ribu untuk naik ke kawah Bromo, namun kami lebih memilih unruk berjalan dan mendaki sekitar 3.5 kilometer untuk menuju ke kawah.

view dari awal pendakian menuju kawah Bromo
langkah demi langkah kuayunkan demi munuju puncak kawah Bromo, sesekali kami beristirahat sejenak untuk mengatur tempo nafas. Dan alhamdulillah, akhirnya kami sampai di puncak kawah Bromo.

view Pura suku Tengger dari puncak kawah Bromo
puncak kawah Bromo wearing Electrohell's shirt


foto bersama open Trip Nusantara Malang di puncak kawah Bromo
Turun dari puncak kawah Bromo, kami kembali ke desa Wonokitri dengan menggunakan jeep. Pengalaman yang berharga dan indah kami dapatkan dari open trip Bromo, mungkin suatu saat nanti, saya akan datang lagi ke sini dengan istri saya, honeymoon adventure agar lebih menantang.
Namun usai Bromo trip ini, kami tidak langsung pulang ke Salatiga, kami menginap semalam di rumah kawan kami Dipta di daerah Lawang. Jamuan sederhana dan hangat dari keluarga Dipta cukup untuk istirahat kami dari Bromo. kota Malang sedang mempersiapkan diri untuk ulang tahunnya yang satu abad, sehingga beberapa titik kota mengalami kemacetan. Kami menikmati bakso bakar yang harganya cuma seribu per tusuk di depan kampus Universitas Brawijaya.

bakso bakar Malang seribu rupiah
 Belum kenyang kami menuju Kongkow cafe untuk mengisi perut kami.Kupesan nasi katsu yang
Kongkow cafe Malang

Unang menyampaikan keinginannya untuk melakukan trip kecil ke Jogjakarta sebelum pulang ke Salatiga. Aku pun tertarik dan mengiyakannya. Esok harinya kami naik kereta Malioboro Ekspress dari kota Malang menuju kota Jogjakarta dengan tarif 135 ribu rupiah. Sebenarnya niat kami ke Jogjakarta ini hanya untuk sekedar menikmati nasi kucing dan kopi joss di sekitar stasiun.Tugu Jogjakarta sambil menunggu kereta selanjutnya.

kopi joss dan nasi kucing di Angkringan Tugu Jogjakarta

Kereta Sriwedari mengantar kami kembali di stasiun Solo Balapan dengan tarif 6 ribu rupiah. Kereta ekonomi ini penuh sesak penumpang sampai di Solo. Becak dengan tarif 10 ribu rupiah mengantar kami dari stasiun Solo Balapan ke terminal Tirtonadi. Untuk selanjutnya kami naik bus Royal Safari untuk pulang ke Salatiga.
Alhamdulillah perjalanan singkat ini berakhit, namun pengalaman dan pelajaran berharga banyak kami dapatkan dari perjalanan ini.

Jumat, 11 April 2014

#PacaranMaTuhan

kalau kamu sayang sama Tuhan Yang Maha Asyik, mestinya kan menjadikan dirimu sebagai eksekutor kehendak Tuhan di dunia?!
Tuhan kan nggak mungkin langsung sedekah ke orang-orang, ya kalianlah sedekah duit kalau punya duit. sedekah ilmu, sedekah senyum.
masa sih kalau sudah gitu Tuhan gak mbales cintamu? tapi gak mungkin Dia belai-belai langsung rambutmu, sentuh bibirmu.
maka Tuhan ciptakan "wakil"-Nya, yaitu pacarmu. maka doalah "Tuhan, semoga pacarku ini betul-betul orang yang Kau pilihkan untukku."
tapi kamu kadang kebablasan! lebih sayang ke "wakil" Tuhan itu. padahal Tuhan Maha Pencemburu. itulah problemnya.
misalnya, kamu gak pernah sedekah lagi, karena pacarmu di dunia keberatan, akhirnya kamu stop sedekah. itu yang banyak terjadi.
gak usah panas kuping ketika kubilang Tuhan Maha Pencemburu. adakah dosa yang lebih besar dari cinta ke selain Tuhan (harta, uang, dll)?
masih banyak yang salah tafsir. aku gak ada urusan sama agama orang. bagi saya yang penting orang itu baik dan berguna buat sesama, apapun agamanya atau kepercayaannya.

Sujiwo Tejo on Jiwo J#ncuk

Senin, 07 April 2014

Rafting dan Singapura

sekitar pukul sembilan pagi itu Sabtu 29 Maret 2014, kumulai perjalananku bersama peserta Rafting ke Magelang dari kampus Satya Wacana. Duduk bagian favoritku ya di belakang dekat dengan jendela. Duduk di sebelahku Mara sebagai perwakilan organisasi fakultas yang bertugas mengawasi pelaksanaan acara tersebut. Selama perjalanan ke Magelang kami mengobrol tentang banyak hal, dari hal akademis sampai grup socmed rahasia yang berisi guyonan kritis dan sarkastik tentang kehidupan kampus. Sambil menikmati hamparan kebun kopi dan liuknya jalan, nasi ayam yang sudah dibagi panitia pun kulahap tanpa sisa.

Sampai di kawasan wisata Citra Elo Magelang, kami disambut dengan sesi welcome tea, ya aku tak menikmatinya. Selain aku tidak begitu suka dengan teh, teh yang disediakan pun panas, tak sesuai dengan cuaca yang terik saat itu. Aku lebih suka menikmati air bening (bukan putih) dan kutenggak sebotol air itu sambil mendengarkan panitia memberikan arahan untuk kegiatan tanam pohon. Panitia mulai membagi peserta dalam tiga kelompok dan membagi perlengkapan untuk masing-masing peserta. Aku dikelompokkan dengan dua peserta warga negara dari Singapura yaitu Pak Bernard dan Perry. Ya kami mulai akrab saat kami bekerja sama menanam beberapa pohon di kebun belakang kawasan wisata Citra Elo. Tak lupa kami mengabadikan momen itu dengan kamera milik Perry.

Usai sesi tanam pohon tersebut, peserta dipersilakan beristirahat sejenak di gazebo sambil menyiapkan perlengkapan untuk rafting. Aku ganti pakaian dengan celana pendek casual dan kaos hitam Electrohell tanpa alas kaki. Sebelum berangkat ke titik start rafting, para peserta menyempatkan untuk berfoto bersama. Dengan angkutan kota yang ditumpangi perahu karet di atasnya, kami dibawa ke titik start sekitar 20 menit perjalanan dari kawasan wisata Citra Elo. Cuaca terik siang itu tiba-tiba menjadi gelap dan hujan deras setiba kami di titik start. Khawatir? tidak! justru kami merasa lebih antusias menakhlukkan jeram sungai Progo atas ketika hujan. Dan instruktur pun mengizinkan rafting dilakukan meski di bawah guyuran hujan. Peserta dibagi menjadi enam perahu dan masing-masing perahu didampingi instruktur yang berpengalaman belasan tahun. Mendengarkan arahan instruktur dengan seksama adalah cara kecil untuk menjaga keselamatan saat rafting.

Perjalanan kami menyusuri sungai Progo atas dimulai bersamaan dengan menurunnya intensitas hujan. Aku ambil posisi terdepan bagaikan sopir, namun sebenarnya kendali perahu ada di belakang, ya ditempati dua instruktur pak Ro'is dan pak Slamet. baru kuatunkan dayungku sekian puluh kali, sudah terasa pegal di bagian pergelangan tangan. Memang seharusnya melakukan pemanasan terlebih dahulu. Beberapa jeram yang kecil sampai yang cukup curam kami arungi dengan penuh teriakan dan tawa riang. Rasanya terombang ambing di atas arus air lebih asyik memacu adrenalin daripada naik wahana Halilintar atau Histeria di Ancol. Ada beberapa peserta di perahu lain yang tercebur ke dalam arus air sungai.pada etape pertama ini. Setidaknya perahu kami sudah menaikkan 3 orang peserta yang tercebur.baru sekitar setengah jam kami menyusuri sungai tersebut, kami break sebentar di bawah jembatan untuk menyegarkan tenggorokan dengan air mineral dan kudapan yang sudah disiapkan panitia. Tak lupa kami action untuk foto bersama di bawah jembatan tersebut.

Setelah sekitar 10 menit, kami melanjutkan perjalanan untuk etape kedua. Kami ditantang oleh instruktur untuk duduk di depan ujung perahu, sebenarnya ada dua perempuan di perahu kami, namun mereka tidak ada yang berani. Akhirnya kak Rangga mahasiswa Magister Manajemen yang memberanikan diri untuk ber-rodeo di perahu.baru beberapa menit kak Rangga sudah jatuh tercebur di jeram yang tidak curam. Aku dan pak Rois membantu kak Rangga naik ke perahu. Lalu kak Rangga mempersilakan aku untuk mencoba ber-rodeo, kuterima tantangan itu sekalian untuk mengistirahatkan pergelangan tanganku yang sudah sedari tadi terasa pegal. Kutitipkan dayungku kepada pak Slamet dan pak Rois, dan kuambil posisi duduk di ujung depan perahu. Ternyata asyik juga di posisi ini, serasa naik kuda namun tanpa kepala. beberapa jeram kuarungi dan aku tercebur di jeram yang menikung. Untungnya aku mendengarkan petunjuk dari mas Gufron tentang bagaimana cara menghanyutkan diri dengan baik. Aku dibantu naik ke perahu oleh kak Rangga, namun aku memutuskan untuk tetap ber-rodeo lagi. ya aku memang orang yang keras kepala, selama menurutku benar dan tidak mengganggu hak orang lain ya i do it. Keceriaan kami berlanjut sampai penghujung poin akhir, dengan kekuatan penuh perahu kami melaju menuju air terjun kecil namun deras di pinggir sungai, ya padahal aku masih asyik ber-rodeo, mau tidak mau saya harus minum air dari kucuran air terjun yang deras itu, kami tertawa terbahak-bahak. Dan di akhir sebelum kami merapat ke daratan, kami berlima melakukan permainan kecil, kami berdiri di pinggir perahu dan saling berpegangan tangan. Dalam hitungan ketiga pak Slamet dan pak Rois menghentakkan perahu ke belakang sehingga kami semua tercebur ke dalam arus sungai yang sudah mulai tenang. Kami berenang ke tepian sungai Progo sekaligus mengakhiri perjalanan arung jeram kami senja itu.

Semua peserta naik ke area penjemputan, di area tersebut sudah disediakan kudapan dan air minum untuk para peserta. Seperti biasa kuambil air mineral bukan teh hangat dan sepotong bakpia isi kacang hijau dan arem-arem mini. Lumayanlah untuk menggantikan energi yang terkuras di sungai Progo tadi. Aku berbincang-bincang dengan peserta lain sambil menahan dingin karena kebasahan. Aku bertanya pada duo Singapura juga "Bagaimana?oke?" tanyaku sambil mengacungkan ibu jariku. "Saya sangat senang, di Singapura tidak ada yang seperti ini." jawab Perry. "Saya sudah pernah rafting di Gua Pindul tapi tidak sebaik di sini." jawab pak Bernard dengan terbata-bata. Mungkin benar apa yang dibicarakan mas Gufron di awal sebelum kami memulai rafting, "Setelah Anda melakukan rafting ini kemungkinannya cuma dua, kalau nggak kapok ya ketagihan." Aku merasa ketagihan dan mungkin itu juga dirasakan oleh peserta lain. Kami kembali ke kawasan Citra Elo dengan menggunakan angkutan kota seperti pada pemberangkatan tadi. Duduk di ujung pintu dengan tiupan angin memakasaku menahan dingin yang luar biasa.Setelah sekitar setengah jam, kami tiba di Citra Elo kembali.

Aku, Perry dan pak Bernard bergaya kembali pintu kedatangan Citra Elo untuk difoto oleh panitia. Untuk menetralisir suhu badan yang kacau setelah tertiup angin tadi, kuputuskan untuk berenang sebentar di kolam renang yang telah disediakan Citra Elo. Setelah cukup dingin badanku, aku bergegas mandi dan berganti pakaian. Sudah bersih dan wangi badanku, aku memilih untuk bercengkerama dengan pak Bernard dan Perry di gazebo.

Aku mulai mengenal lebih dekat tentang mereka berdua dan Singapura. Perry adalah lulusan Teknik Informatika tapi tidak suka menjadi programmmer, dia sedang mencari pekerjaan. Dia ikut program belajar Bahasa Indonesia dengan tujuan dapat bekerja di Indonesia. Sedangkan pak Bernard adalah bapak dua anak yang bekerja sebagai jurnalis sekaligus petualang, beliau sudah singgah ke beberapa negara untuk mengeksplor alam dan budayanya seperti India, United State, Malaysia, dan Indonesia. Dari sekilas saja, mereka tidak seperti orang asing yang aku kira, mereka lebih ramah dan humble. Aku menanyakan kepada mereka tentang Bahasa Indonesia, susahkah bagi mereka? Perry menjawab dengan terbata-bata "Bahasa Indonesia itu sulit tidak seperti bahasa Mandarin". "Saya waktu di kelas mencoba menjawab pertanyaan teacher tentang Bahasa Indonesia dari farming, saya menjawab metani" tambah pak Bernard sambil tertawa disusul tawaku dan Perry. Pak Bernard terbiasa dengan kata kerja me- sehingga yang seharusnya ber-tani menjadi me-tani. lalu saya bertanya tentang Bahasa Inggris, apakah itu diajarkan juga di perkuliahan Singapura. Ternyata tidak, Universitas di Singapura justru mengajarkan Bahasa Indonesia dan Bahasa Mandarin. Bahasa Inggris hanya diajarkan saat Elementary School. Betapa malu sekaligus bangganya aku, malu karena Bahasa Inggris yang diagung-agungkan sebagai bahasa Internasional di Indonesia cuma sebagai bahasa pengantar di Singapura, bangga karena Bahasa Indonesia disejajarkan dengan Bahasa Melayu sebagai bahasa nasional di Singapura. Mereka berdua memang keturunan Chinesse tapi mereka tidak suka disebut orang China. "ya saya memang keturunan China, tapi saya bukan orang China' begitu kata Perry. Lalu aku bertanya tentang alam Singapura. Perry menjelaskan bahwa tempat wisata Singapura semua buatan dan tidak alami, bahkan pak Bernard sendiri sampai ingin membawa keluarganya untuk menikmati kekayaan alam di Indonesia. Di Singapura pun harus pergi ke Malaysia untuk membeli bahan bakar minyak. Sebegitu susahnya mereka dengan kecilnya alam. Sedangkan Indonesia sendiri kekayaan alam hanya dikuasai oleh segelintir orang bukan untuk kepentingan rakyat banyak, sehingga tidak heran jika rakyat yang tidak punya rasa "nduweni" akan alam Indonesia dan tidak menjaga seperti seharusnya milik mereka sendiri. Satu hal yang pak Bernard katakan namun sangat aku ingat karena sangat mempermalukan, "Indonesia ini sangat bagus, tapi orang Indonesia tidak suka bersih, sampah dimana-mana" Kalimat itu keluar dari mulut orang yang merasakan sendiri betapa kotornya indonesia ini. Mungkin ini sepele, tapi memang seharusnya kita harus menjaga kebersihan indonesia.

Perbincangan kami berlanjut di meja makan, sambil menikmati hidangan sayur lodeh, tempe bacem, dan ayam goreng dan kerupuk. Pak Bernard dengan lahap menghabiskan sayur lodehnya. sedangkan Perry justru hanya makan tempe bacem dan kerupuk. Aku bertanya padanya kenapa tidak makan nasi. "Kaki saya sedang sakit jadi saya tidak bisa berolahraga jadi saya harus diet, tidak boleh makan banyak". Sebegitu perhatiannya dia dengan kesehatannya sendiri. Sedangkan aku sendiri sering mengabaikan kesehatanku sendiri. Perry sangat suka kerupuk, dia menghabiskan setengah mangkuk kerupuk. Setelah selesai makan, Perry mengeluh kepada pak Bernard karena digigit nyamuk, lalu aku bertanya "di Singapura tidak ada nyamuk?" pak Bernard menjawab ada karena Singapura juga tropikal dan menakutkan karena di Singapura nyamuk itu bisa menyebabkan kematian. lalu aku berpikir, mungkin nyamuk di Singapura memang lebih ganas daripada di indonesia. perbincangan kami diakhiri dengan topik terakhir yang menggelitik juga. pak Bernard bertanya "Bayu, punya agama apa?" kujawab dengan tegas "Islam! I'm moslem" Perry bertanya "Bayu sudah pernah ke Mekkah?" "Belum, tapi saya sedang menabung untuk pergi ke sana' jawabku dengan senyum. "memang berapa fee untuk ke Mekkah? lalu kujawab "cukup mahal sekitar 30juta dan itu mungkin akan naik tiap tahun. Walau sudah bayar lunas pun kita harus antri, mungkin lunas tahun ini tapi mungkin berangkat haji beberapa tahun kemudian. jadi harus antri sesuai kuota." Perry dan pak Bernard mengangguk-angguk mungkin heran dengan sistem haji di Indonesia. Perbincangan kami senja itu berakhir karena kami sudah dipersilakan untuk naik ke bus untuk melakukan perjalanan pulang ke Salatiga.

kami mampir di toko oleh-oleh di kota Magelang, aku tak tertarik untuk berbelanja, bukan karena tidak punya uang tapi lebih karena "for what". Aku hampir seminggu sekali ke Jogjakarta melalui magelang, jadi rasanya percuma kalau belanja oleh-oleh di Magelang. Ada yang menarik saat di toko oleh-oleh, aku melihat Perry dan pak Bernard sedang makan es krim Magnum yang harganya sekitar 11 ribu. Aku bertanya "suka es krim?" lalu pak Bernard menjawab "Ya, di sini es krim murah tidak seperti di Singapura." "Di Singapura juga ada es krim Magnum?" "Ya, di Singapura ada es krim Magnum ini tapi harganya sekitar 5 dollar Singapura atau 40 ribu Rupiah." Aku terdiam dan berpikir, sebegitu mahalnya di Singapura atau sebegitu murahnya di Indonesia. entahlah setiap orang punya sudut pandang masing-masing. Mungkin bagi mereka, Indonesia sangat murah dan bagiku Singapura sangat mahal.

Perjalanan pulang kami berlanjut. Sampai di Salatiga, kami disambut hujan deras. Mungkin Tuhan masih senang melihat hambaNya bermain dengan airNya. Tuhan Maha Asyik.

Selasa, 01 April 2014

Mawar Hitam

Cerpen Candra Malik (Koran Tempo, 30 Maret 2014)
Mawar Hitam ilustrasi Munzir Fadly

ENGKAU adalah kata yang hendak diucapkan pensil yang, meski telah kuruncingkan, ternyata tak segera berani memilih aksara pertama. Namamulah yang pada mulanya akan kutulis, namun kita belum saling mengenal. Kau diam di sana, duduk dengan selembar kertas kosong dan sebatang pensil pula. Aku di sini. Dan, kita bernasib sama.
Pada akhirnya kugambar saja ruas senyum yang kaubenamkan di antara bibir indahmu yang cemberut. Layak kuduga kau menunggu seseorang. Seseorang yang sangat dekat, yang sanggup membuatmu gagal menulis menu. Kau menantinya pasti untuk bertanya, ”Jadi, kita pesan apa?“ Aku memesan secangkir kopi saja. Tanpa gula. Aku memang tak terlalu suka pemanis untuk hal-hal yang memang dikodratkan pahit. 
Jika tak meninggalkan serangkum bunga mawar beraneka warna di toko, demi mengikuti langkahmu ke sini, aku takkan pernah bisa secermat ini mengarsir lekuk pipimu. Alis tebal seperti itu hanya dimiliki bidadari, apalagi dengan kelopak mata yang terlihat berjodoh dengan tatapanmu yang gelisah. Kau begitu lama rela waktumu terbuang percuma untuk seseorang yang tak kunjung datang.
Ia pasti istimewa. Pasti tidak seperti aku yang bahkan mendekatimu untuk membawa kertas ini saja tak bernyali. Seharusnya kusampaikan padamu, “Tadinya kertas ini kosong. Bukan sulap, bukan pula sihir. Abrakadabra. Di kertas ini kemudian muncul sesosok bidadari.” Ah, aku suka kau mulai tersenyum. Sudah kulupakan rangkum mawar yang seharusnya kuantarkan ke pemesan. Kaulah kembang sesungguhnya. Kuncup bibirmu saja indah, apalagi sekarang sudah mekar sedemikian menawan.
Kau membaca pesan dari entah siapa di telepon genggam yang sedari tadi kautengok-tengok layarnya dengan resah. Mungkin dari seseorang yang kautunggu. Dari caramu bertutur, bicara sendiri, kubaca mimikmu sempat marah. Tapi kau justru tersenyum, tak memaki. Ah, alangkah tinggi budi pekertimu. Sudah cantik, sangat sabar, rela berlama-lama menunggu, dan masih sanggup menahan ledakan murka. Ya, kau sepatutnya marah besar. Betapa tak tahu diri seseorang yang kautunggu itu.
Sudahlah, tinggalkan saja dia. Masih banyak laki-laki baik yang lebih cocok untukmu. Yang bisa menemanimu memilih sepatu boots, celana jeans butut, dan baju gunung. Aku masih takjub, bagaimana bisa segala simbol kejantanan itu menempel di tubuhmu dan kau jsutru semakin jelita. Kau biarkan saja derai-derai rambut memilih keasyikannya sendiri. Ada yang berdiam di pundakmu, ada pula yang terurai ke belakang. Ah, jenjang leher itu. Pensilku perlu menempuh perjalanan panjang untuk memahami keindahannya.
”Maaf, Anda sedang menggambar saya?“
Eits! Ya, Tuhan. Bagaimana bisa kau tiba-tiba di sini? Persis di depanku. Mataku terbelalak, sapaanmu menegakkan leherku yang sempat lama menunduk pada keelokan perempuan yang duduk berjarak dua meja di sana. Kamu, perempuan itu kamu. Perempuan yang membuatku terpaku tak berdaya melawan gerak pensil di kertas ini.
”Eh, iya. Silakan duduk. Maaf, boleh saya meneruskan menggambar?“
”Jadi, sedari tadi Anda memerhatikan saya? Mengapa tidak langsung menghampiri saya ke meja itu?“
Mampus! Harus kujawab apa? Harus bagaimana aku mengatakan bahwa itulah yang kuinginkan sejak mengikutimu dari toko? Tiga blok, lumayan jauh untuk sepasang kakimu yang seramping kaki-kaki rusa. Dari kaca tembus pandang di kafe ini, aku harus memastikan kau duduk dulu, barulah aku menyusul masuk. Duduk tak jauh, pun tak terlalu dekat. Menunggu isyarat untuk bisa menuju mejamu. Tapi kau tampak gusar, seperti menunggu seseorang.
”Saya pikir Nona menunggu seseorang.“
”Ah, sudahlah. Menyebalkan memang. Lain kali saya tidak mau lagi berhubungan dengan dia. Dua jam! Bayangkan, dua jam! Dan dia tetap tidak datang.“
Nah, ini isyarat yang kumaksud: pertanda semesta yang menyalakan lampu hijau sehingga aku bisa bergerak memasuki kehidupanmu. Mungkin ini saat yang tepat untuk bertanya nama.
”Saya Taksaka.“
”Oh. Ya. Terimakasih. Jadi, nanti gambar itu untuk saya?“
”Oh. Tentu, tentu. Saya tulis, untuk… Siapa nama Nona?”
”Biar begitu saja. Tulis nama Anda saja di situ. Dan nomor yang bisa saya kontak. Siapa tahu gambar ini senada dengan tema dinding saya.“
”Emm, baiklah. Tak-sa-ka, dan ini nomor telepon saya. Ada banyak bunga yang siap menyambut Nona. Silakan sewaktu-waktu mampir.”
Kau mengucap kata terimakasih yang ringkas, lalu kembali ke mejamu. Tak ada basa-basi yang cukup di antara kita. Tapi, tidak buruk-buruk amat, yang penting kita sudah bertegur sapa, dan kekagumanku terhadap kecantikanmu sudah langsung sampai ke tangan pertama. Kau memandangi goresan tanganku dengan senyum ayu. Eh, tapi mengapa tiba-tiba kau mengernyit, lalu memandangi aku seperti itu? Salah apa aku? Apakah… duh, mungkin karena garis hidung yang belum sempurna betul kugambar tapi kau sudah lebih dulu datang.
Mati aku. Kau ke sini lagi. Sebentar, sebentar. Duh.
”Maaf. Saya sepertinya mengenal nomor telepon ini?”
”Oya? Wah, bahagia hati saya. Toko bunga saya memang terkenal di mana-mana.“
”Toko Bunga Oxy?”
”Ya, benar, Nona. Wah, ternyata kenal juga toko saya. Silakan duduk. Saya bisa cerita panjang lebar tentang bunga. Nama toko saya itu saya ringkas dari Epiphyllum oxypetalum. Nama Latin untuk bunga Wijayakusuma.”
Kau menghela nafas panjang. Lalu menarik kursi, namun tidak beranjak. Tetap berdiri. Aku menjadi tidak enak hati, dan bangkit. Salah bicara apa aku sampai-sampai kau mengatupkan bibir serapat itu, meruncing, bahkan makin lama makin keras otot-otot di roman wajahmu. Garis-garis kelembutan yang tadi kugambar seketika menjadi keliru mengabadikan kekagumanku padamu.
”Mana bunga saya! Sudah dua jam saya menunggu, dan Anda ternyata hanya berleha-leha di sini! Nih, saya tidak butuh gambar ini! Saya memesan bunga! Bukan potret diri! Dan ini tidak lebih bagus dari coretan seniman-seniman di sepanjang Boulevard!”
Kautamparkan kertas dariku tadi ke angin, namun kerasnya sampai ke jantungku. Duh, hancur sudah segala wangi yang kuhimpun dari satu demi satu kuntum yang semula kuyakini sebagai kembang sejati ini. Perempuan secantik ini memarahiku di tengah puluhan orang yang bercengkerama, dan kini mereka mengarahkan percakapan kepada kita. Semua mata itu pasti menyalahkanku. Mereka pikir aku laki-laki tak berguna dan kau perempuan yang terluka.
Tadi, ketika kita sampai di sini, kafe masih sepi. Hanya ada kita dan satu-dua orang membenahi lampu-lampu. Mereka hilir-mudik melintasi meja-meja, naik-turun panggung kecil di sudut sana, seperti sengaja memberi garis di antara kita. Andai tak ada mereka, dan kafe ini milik kita berdua, mungkin aku lebih berani, dan kau tak perlu menggebrak untuk menjelaskan duduk perkaranya. Sebentar, Nona, saya salah apa? Kita saling kenal saja belum.
”Saya kemarin menelepon ke Toko Oxy, diterima seorang laki-laki bernama Raka, Saka, atau Taksaka, atau, ah, saya tahu, Anda yang bicara siang itu! Saya minta dikirimi bunga-bunga ke kafe ini. Saya baru akan membuka bisnis, dan Anda telah mengacaukannya!”
Astaga, pesanan bunga mawar itu ternyata darimu. Duh, mau kutaruh di mana mukaku. Tapi, kaulah yang membuatku lupa diri dengan buai kecantikanmu. Aku tak benar-benar bersalah, setidaknya bukan aku sendiri yang keliru. Mengapa pula kau mengayun kaki melewati tokoku?
”Tapi, Nona….“
”Oke, masih ada yang akan Anda pesan?”
”Maksud Anda?”
”Hari ini kafe belum dibuka untuk umum. Hanya mereka saja yang diundang saja yang hadir, dan meja ini sudah dipesan. Tamu-tamu saya sudah berdatangan. Silakan.“
Tanganmu mengusirku. Senyum sengit kali ini tak lagi sama dengan keceriaan yang tertangkap mataku ketika kau melintas laksana angin sepoi di musim gersang. Aku melenggang dan terlalu malu menjemput kertas bergambar kemolekanmu yang terdampar di antara kaki-kaki kursi.
Tapi, siapa namamu, Nona?

AH, andai waktu itu kau sedikit saja berbesar hati menyebut satu cara untuk memanggilmu, aku takkan sebodoh ini berdiri memandangi rangkaian mawar ini. Maaf, siang itu, ketika kau menelepon, ah ternyata kau yang menelepon itu, tak bisa kupenuhi permintaanmu. Aku tak menyediakan edelweiss. Sewaktu remaja, sebelum membenamkan diri pada bunga-bunga, aku juga pernah mendaki gunung. Aku tahu tak boleh memetik bunga lambang keabadian cinta itu.
”Tak boleh meninggalkan sesuatu selain jejak kaki. Tak boleh membawa sesuatu kecuali kenangan. Jadi, maaf  Nona, saya tidak bisa mengantar bunga edelweiss.”
”Bilang saja tak punya. Saya pikir Toko Oxy menyediakan semua.”
”Semua, selain edelweiss.”
”Lalu, mawar gunung apa yang Anda punya?“
”Maaf, Nona, edelweiss bukan termasuk keluarga mawar. Dia satu rumpun dengan bunga matahari.“
”Siapa bilang? Sudahlah, begini saja. Tolong kirim serangkum bunga mawar ke Kafe Ambrosia, Jalan Boulevard Blok F9 No. 20. Mawar apa pun.”
”Baik, pilihan yang indah. Bunga mawar, atas nama…”
Kau menutup telepon sebelum kata pujian beres kuucapkan sekadar untuk berbasa-basi kepada calon pelanggan baru. Dan kau tak meninggalkan nama. Yang kutahu, jalan yang kausebut itu tiga blok dari sini. Baiklah, besok biar aku sendiri yang mengantar. Perasaanku mengatakan, kau berbeda. Agak angkuh, tapi aku berani bertaruh: pasti gaya itu sepadan dengan daya pikatmu.
Sama memikatnya dengan perempuan yang melenggok sehari setelah kuterima telepon darimu. Dan, ya Tuhan, ternyata kalian orang yang sama. Kaulah penelepon itu, kau pula yang sekelebat melintasi tokoku dan kukejar. Sekarang, ke mana aku harus melacak jejakmu? Ke mana mesti kukirim serangkai bunga mawar ini? Atas nama siapa?
”Kheylia. Tolong kirim ke Kafe Ambrosia, Jalan Boulevard Blok F9 No. 20.”
”Kafe Ambrosia? Saya pernah ke sana. Baik. Dengan siapa saya bicara, mohon maaf, jika boleh tahu? Apakah dengan Nona Kheylia sendiri?”
”Oh, bukan. Saya Larasati.”
”Oh, maaf. Tapi, benar ya mawar hitam? Apakah memang sedang ada yang berduka?”
”Terimakasih telah bertanya. Ya, kami sangat berduka, terutama saya. Khey sudah pergi meninggalkan kami.“
”Khey?“
”Ya. Kheylia, pacar saya, pemilik kafe ini. Kheylia pamit mendaki gunung lagi. Dia sangat ingin membawa edelweiss Mahameru untuk dipajang di ruang kerjanya: dapur kue. Cinta kami tumbuh di dapur kafe ini. Tapi, Khey ternyata tak pernah kembali. Ia terakhir mengirim pesan bahwa ia bermalam di Kalimati.”
”Kapan itu?”
”Tiga tahun lalu. Saya memesan mawar hitam untuk mengenang seribu hari kepergiaannya.“
Kheylia. Ternyata itu namamu. Dan, aku baru tahu sekarang. Dari serangkum mawar hitam.


Candra Malik, tinggal di Jakarta.

Minggu, 30 Maret 2014

Tanpa Ibuku

tanpa Ibuku..
tiada janin kuat mengandungku..
tiada ASI eksklusif masa bayiku..
tiada masakan nikmat mengenyangkanku..
tiada tangan halus membelaiku..
tiada tangis haru menyembuhkanku..
tiada senyum indah menyemangatiku..
tiada pelajaran hidup mendidikku..
tiada marah kecil mendewasakanku..
tiada tempat nyaman mengaduhku..
tiada kasih suci menyayangiku..
tiada doa ikhlas menyertaiku..
tiada kemampuanku membalasnya..
tiada duanya Ibuku..

Artiningsiwi Bingah Mumpuni 11 April 1968

Perempuan

Perempuan adalah makhluk paling ghaib setelah Tuhan kalau kata Sufi Jalalludin Rumi, mengapa? mungkin Tuhan walau ghaib tetap memberikan petunjukNya melalui kitabNya. Sedangkan perempuan? siapa yang tahu petunjuk dari isi hati perempuan selain dirinya sendiri dan Tuhannya?ya perempuan memang bukan tentang yang dia ucapkan, perempuan selalu tentang yang tak terucap. Perempuan sangat pandai menutup isi hatinya rapat-rapat. Pak WS. Rendra mengibaratkan perempuan sebagai belut, meski telah kau kenali segala lekuk liku tubuhnya, sukmanya selalu luput dari genggaman. Jika ada kamus yang me-translate sikap perempuan mungkin itu kamus terbaik di dunia. Perempuan tidak bisa memulai sesuatu lebih dulu dengan laki-laki karena itu akan merusak kodratnya, perempuan lebih memilih diam menunggu laki-laki memulainya, padahal tak semua laki-laki peka membaca tanda dari perempuan. Bagaimana tidak? sikap perempuan tidak selalu sama dengan isi hatinya. Logika laki-laki takkan pernah sanggup menakhlukkan jalan pikiran perempuan, ya karena perempuan ahli mencampurkan jalan pikirannya dengan beton hati yang hanya perempuan sendiri kemana jalan itu tertuju. Kebanyakan perempuan ingin menggunakan apa saja yang bisa membuatnya tampil sempurna, padahal bagi laki-laki justru perempuan berpenampilan sempurna saat dia tak menggunakan apa-apa. Mayoritas laki-laki suka perempuan yang berpenampilan sederhana, tidak berlebihan dalam berpenampilan. Perempuan punya satu senjata ampuh untuk memenangkan perang yaitu air mata, laki-laki pun takhluk jika perempuan yang disayanginya menangis. “Sesungguhnya perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki-laki, dan sungguh bagian yang paling bengkok dari tulang rusuk adalah yang paling atas. bila laki-laki ingin meluruskannya, berarti akan mematahkannya. Dan jika laki-laki ingin bersenang-senang dengannya, laki-laki bisa bersenang-senang namun padanya ada kebengkokan.” (HR. Al-Bukhari)