Cerpen Candra Malik (
Koran Tempo, 30 Maret 2014)
ENGKAU adalah kata yang hendak diucapkan pensil
yang, meski telah kuruncingkan, ternyata tak segera berani memilih
aksara pertama. Namamulah yang pada mulanya akan kutulis, namun kita
belum saling mengenal. Kau diam di sana, duduk dengan selembar kertas
kosong dan sebatang pensil pula. Aku di sini. Dan, kita bernasib sama.
Pada akhirnya kugambar saja ruas senyum yang kaubenamkan di antara
bibir indahmu yang cemberut. Layak kuduga kau menunggu seseorang.
Seseorang yang sangat dekat, yang sanggup membuatmu gagal menulis menu.
Kau menantinya pasti untuk bertanya, ”Jadi, kita pesan apa?“ Aku memesan
secangkir kopi saja. Tanpa gula. Aku memang tak terlalu suka pemanis
untuk hal-hal yang memang dikodratkan pahit.
Jika tak meninggalkan serangkum bunga mawar beraneka warna di toko,
demi mengikuti langkahmu ke sini, aku takkan pernah bisa secermat ini
mengarsir lekuk pipimu. Alis tebal seperti itu hanya dimiliki bidadari,
apalagi dengan kelopak mata yang terlihat berjodoh dengan tatapanmu yang
gelisah. Kau begitu lama rela waktumu terbuang percuma untuk seseorang
yang tak kunjung datang.
Ia pasti istimewa. Pasti tidak seperti aku yang bahkan mendekatimu
untuk membawa kertas ini saja tak bernyali. Seharusnya kusampaikan
padamu, “Tadinya kertas ini kosong. Bukan sulap, bukan pula sihir.
Abrakadabra. Di kertas ini kemudian muncul sesosok bidadari.” Ah, aku
suka kau mulai tersenyum. Sudah kulupakan rangkum mawar yang seharusnya
kuantarkan ke pemesan. Kaulah kembang sesungguhnya. Kuncup bibirmu saja
indah, apalagi sekarang sudah mekar sedemikian menawan.
Kau membaca pesan dari entah siapa di telepon genggam yang sedari
tadi kautengok-tengok layarnya dengan resah. Mungkin dari seseorang yang
kautunggu. Dari caramu bertutur, bicara sendiri, kubaca mimikmu sempat
marah. Tapi kau justru tersenyum, tak memaki. Ah, alangkah tinggi budi
pekertimu. Sudah cantik, sangat sabar, rela berlama-lama menunggu, dan
masih sanggup menahan ledakan murka. Ya, kau sepatutnya marah besar.
Betapa tak tahu diri seseorang yang kautunggu itu.
Sudahlah, tinggalkan saja dia. Masih banyak laki-laki baik yang lebih
cocok untukmu. Yang bisa menemanimu memilih sepatu boots, celana jeans
butut, dan baju gunung. Aku masih takjub, bagaimana bisa segala simbol
kejantanan itu menempel di tubuhmu dan kau jsutru semakin jelita. Kau
biarkan saja derai-derai rambut memilih keasyikannya sendiri. Ada yang
berdiam di pundakmu, ada pula yang terurai ke belakang. Ah, jenjang
leher itu. Pensilku perlu menempuh perjalanan panjang untuk memahami
keindahannya.
”Maaf, Anda sedang menggambar saya?“
Eits! Ya, Tuhan. Bagaimana bisa kau tiba-tiba di sini? Persis di
depanku. Mataku terbelalak, sapaanmu menegakkan leherku yang sempat lama
menunduk pada keelokan perempuan yang duduk berjarak dua meja di sana.
Kamu, perempuan itu kamu. Perempuan yang membuatku terpaku tak berdaya
melawan gerak pensil di kertas ini.
”Eh, iya. Silakan duduk. Maaf, boleh saya meneruskan menggambar?“
”Jadi, sedari tadi Anda memerhatikan saya? Mengapa tidak langsung menghampiri saya ke meja itu?“
Mampus! Harus kujawab apa? Harus bagaimana aku mengatakan bahwa
itulah yang kuinginkan sejak mengikutimu dari toko? Tiga blok, lumayan
jauh untuk sepasang kakimu yang seramping kaki-kaki rusa. Dari kaca
tembus pandang di kafe ini, aku harus memastikan kau duduk dulu, barulah
aku menyusul masuk. Duduk tak jauh, pun tak terlalu dekat. Menunggu
isyarat untuk bisa menuju mejamu. Tapi kau tampak gusar, seperti
menunggu seseorang.
”Saya pikir Nona menunggu seseorang.“
”Ah, sudahlah. Menyebalkan memang. Lain kali saya tidak mau lagi
berhubungan dengan dia. Dua jam! Bayangkan, dua jam! Dan dia tetap tidak
datang.“
Nah, ini isyarat yang kumaksud: pertanda semesta yang menyalakan
lampu hijau sehingga aku bisa bergerak memasuki kehidupanmu. Mungkin ini
saat yang tepat untuk bertanya nama.
”Saya Taksaka.“
”Oh. Ya. Terimakasih. Jadi, nanti gambar itu untuk saya?“
”Oh. Tentu, tentu. Saya tulis, untuk… Siapa nama Nona?”
”Biar begitu saja. Tulis nama Anda saja di situ. Dan nomor yang bisa
saya kontak. Siapa tahu gambar ini senada dengan tema dinding saya.“
”Emm, baiklah. Tak-sa-ka, dan ini nomor telepon saya. Ada banyak bunga yang siap menyambut Nona. Silakan sewaktu-waktu mampir.”
Kau mengucap kata terimakasih yang ringkas, lalu kembali ke mejamu.
Tak ada basa-basi yang cukup di antara kita. Tapi, tidak buruk-buruk
amat, yang penting kita sudah bertegur sapa, dan kekagumanku terhadap
kecantikanmu sudah langsung sampai ke tangan pertama. Kau memandangi
goresan tanganku dengan senyum ayu. Eh, tapi mengapa tiba-tiba kau
mengernyit, lalu memandangi aku seperti itu? Salah apa aku? Apakah… duh,
mungkin karena garis hidung yang belum sempurna betul kugambar tapi kau
sudah lebih dulu datang.
Mati aku. Kau ke sini lagi. Sebentar, sebentar. Duh.
”Maaf. Saya sepertinya mengenal nomor telepon ini?”
”Oya? Wah, bahagia hati saya. Toko bunga saya memang terkenal di mana-mana.“
”Toko Bunga Oxy?”
”Ya, benar, Nona. Wah, ternyata kenal juga toko saya. Silakan duduk.
Saya bisa cerita panjang lebar tentang bunga. Nama toko saya itu saya
ringkas dari
Epiphyllum oxypetalum. Nama Latin untuk bunga Wijayakusuma.”
Kau menghela nafas panjang. Lalu menarik kursi, namun tidak beranjak.
Tetap berdiri. Aku menjadi tidak enak hati, dan bangkit. Salah bicara
apa aku sampai-sampai kau mengatupkan bibir serapat itu, meruncing,
bahkan makin lama makin keras otot-otot di roman wajahmu. Garis-garis
kelembutan yang tadi kugambar seketika menjadi keliru mengabadikan
kekagumanku padamu.
”Mana bunga saya! Sudah dua jam saya menunggu, dan Anda ternyata
hanya berleha-leha di sini! Nih, saya tidak butuh gambar ini! Saya
memesan bunga! Bukan potret diri! Dan ini tidak lebih bagus dari coretan
seniman-seniman di sepanjang Boulevard!”
Kautamparkan kertas dariku tadi ke angin, namun kerasnya sampai ke
jantungku. Duh, hancur sudah segala wangi yang kuhimpun dari satu demi
satu kuntum yang semula kuyakini sebagai kembang sejati ini. Perempuan
secantik ini memarahiku di tengah puluhan orang yang bercengkerama, dan
kini mereka mengarahkan percakapan kepada kita. Semua mata itu pasti
menyalahkanku. Mereka pikir aku laki-laki tak berguna dan kau perempuan
yang terluka.
Tadi, ketika kita sampai di sini, kafe masih sepi. Hanya ada kita dan
satu-dua orang membenahi lampu-lampu. Mereka hilir-mudik melintasi
meja-meja, naik-turun panggung kecil di sudut sana, seperti sengaja
memberi garis di antara kita. Andai tak ada mereka, dan kafe ini milik
kita berdua, mungkin aku lebih berani, dan kau tak perlu menggebrak
untuk menjelaskan duduk perkaranya. Sebentar, Nona, saya salah apa? Kita
saling kenal saja belum.
”Saya kemarin menelepon ke Toko Oxy, diterima seorang laki-laki
bernama Raka, Saka, atau Taksaka, atau, ah, saya tahu, Anda yang bicara
siang itu! Saya minta dikirimi bunga-bunga ke kafe ini. Saya baru akan
membuka bisnis, dan Anda telah mengacaukannya!”
Astaga, pesanan bunga mawar itu ternyata darimu. Duh, mau kutaruh di
mana mukaku. Tapi, kaulah yang membuatku lupa diri dengan buai
kecantikanmu. Aku tak benar-benar bersalah, setidaknya bukan aku sendiri
yang keliru. Mengapa pula kau mengayun kaki melewati tokoku?
”Tapi, Nona….“
”Oke, masih ada yang akan Anda pesan?”
”Maksud Anda?”
”Hari ini kafe belum dibuka untuk umum. Hanya mereka saja yang
diundang saja yang hadir, dan meja ini sudah dipesan. Tamu-tamu saya
sudah berdatangan. Silakan.“
Tanganmu mengusirku. Senyum sengit kali ini tak lagi sama dengan
keceriaan yang tertangkap mataku ketika kau melintas laksana angin sepoi
di musim gersang. Aku melenggang dan terlalu malu menjemput kertas
bergambar kemolekanmu yang terdampar di antara kaki-kaki kursi.
Tapi, siapa namamu, Nona?
AH, andai waktu itu kau sedikit saja berbesar hati menyebut satu cara
untuk memanggilmu, aku takkan sebodoh ini berdiri memandangi rangkaian
mawar ini. Maaf, siang itu, ketika kau menelepon, ah ternyata kau yang
menelepon itu, tak bisa kupenuhi permintaanmu. Aku tak menyediakan
edelweiss. Sewaktu remaja, sebelum membenamkan diri pada bunga-bunga,
aku juga pernah mendaki gunung. Aku tahu tak boleh memetik bunga lambang
keabadian cinta itu.
”Tak boleh meninggalkan sesuatu selain jejak kaki. Tak boleh membawa
sesuatu kecuali kenangan. Jadi, maaf Nona, saya tidak bisa mengantar
bunga edelweiss.”
”Bilang saja tak punya. Saya pikir Toko Oxy menyediakan semua.”
”Semua, selain edelweiss.”
”Lalu, mawar gunung apa yang Anda punya?“
”Maaf, Nona, edelweiss bukan termasuk keluarga mawar. Dia satu rumpun dengan bunga matahari.“
”Siapa bilang? Sudahlah, begini saja. Tolong kirim serangkum bunga
mawar ke Kafe Ambrosia, Jalan Boulevard Blok F9 No. 20. Mawar apa pun.”
”Baik, pilihan yang indah. Bunga mawar, atas nama…”
Kau menutup telepon sebelum kata pujian beres kuucapkan sekadar untuk
berbasa-basi kepada calon pelanggan baru. Dan kau tak meninggalkan
nama. Yang kutahu, jalan yang kausebut itu tiga blok dari sini. Baiklah,
besok biar aku sendiri yang mengantar. Perasaanku mengatakan, kau
berbeda. Agak angkuh, tapi aku berani bertaruh: pasti gaya itu sepadan
dengan daya pikatmu.
Sama memikatnya dengan perempuan yang melenggok sehari setelah
kuterima telepon darimu. Dan, ya Tuhan, ternyata kalian orang yang sama.
Kaulah penelepon itu, kau pula yang sekelebat melintasi tokoku dan
kukejar. Sekarang, ke mana aku harus melacak jejakmu? Ke mana mesti
kukirim serangkai bunga mawar ini? Atas nama siapa?
”Kheylia. Tolong kirim ke Kafe Ambrosia, Jalan Boulevard Blok F9 No. 20.”
”Kafe Ambrosia? Saya pernah ke sana. Baik. Dengan siapa saya bicara,
mohon maaf, jika boleh tahu? Apakah dengan Nona Kheylia sendiri?”
”Oh, bukan. Saya Larasati.”
”Oh, maaf. Tapi, benar ya mawar hitam? Apakah memang sedang ada yang berduka?”
”Terimakasih telah bertanya. Ya, kami sangat berduka, terutama saya. Khey sudah pergi meninggalkan kami.“
”Khey?“
”Ya. Kheylia, pacar saya, pemilik kafe ini. Kheylia pamit mendaki
gunung lagi. Dia sangat ingin membawa edelweiss Mahameru untuk dipajang
di ruang kerjanya: dapur kue. Cinta kami tumbuh di dapur kafe ini. Tapi,
Khey ternyata tak pernah kembali. Ia terakhir mengirim pesan bahwa ia
bermalam di Kalimati.”
”Kapan itu?”
”Tiga tahun lalu. Saya memesan mawar hitam untuk mengenang seribu hari kepergiaannya.“
Kheylia. Ternyata itu namamu. Dan, aku baru tahu sekarang. Dari serangkum mawar hitam.
Candra Malik, tinggal di Jakarta.